Sabtu, 16 Februari 2013

Askep Insomnia

Nursing Care In Insomnia

PENGERTIAN
Tidur adalah bagian dari ritme biologis tubuh untuk mengembalikan stamina. Kebutuhan tidur bervariasi pada masing-masing orang, umumnya 6-8 jam per hari. Agar tetap sehat, yang perlu diperhatikan adalah kualitas tidur (www.depkes.go.id).
Insomnia adalah kesukaran dalam memulai atau mempertahankan tidur yang bisa bersifat sementara atau persisten (Kaplan & Sadock, 1997).
Insomnia adalah salah satu fenomena umum dalam gangguan pola tidur. Jangka panjang dapat menyebabkan menderita gejala somatic dan perkembangan penyakit. Ia bahkan dapat menimbulkan penyakit mental dengan dimensi (www.ncbi.nlm.nih.gov).
Insomnia insomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur, tetap tidur, atau merasa segar dengan tidur. Akut dan sementara selama periode stres, insomnia dapat menjadi kronis, konstan menyebabkan kelelahan, kegelisahan ekstrim sebagai pendekatan sensasi, dan gangguan kejiwaan (www.wrongdiagnosis.com).


PENYEBAB
1. karena kondisi medis : tiap kondisi yang menyakitkan atau tidak menyenangkan,sindroma apnea tidur, restless leggs syndrome,faktor diet, parasomnia, efek zat langsung (drugs/alcohol), efek putus zat, penyakit endokrin/metabolik, penyakit infeksi, neoplastic, nyeri/ketidaknyamanan,lesi batang otak/hipotalamus, akibat penuaan.
2. sekunder karena kondisi psikiatri
kecemasan, ketegangan otot-otot, perubahan lingkungan, gangguan tidur irama sirkadian, depresi primer, stress pascatraumatik, skizofrenia (Kaplan & Sadock, 1997).
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV), menunjukkan beberapa gejala dimana seseorang dapat didiagnosis sedang menderita insomnia karena faktor psikologis, yaitu:

1. Kesulitan untuk memulai, mempertahankan tidur, dan tidak dapat memperbaiki tidur selama sekurangnya satu bulan merupakan keluahan yang paling banyak terjadi.
2. Insomnia ini menyebabkan penderita menjadi stres sehingga dapat mengganggu fungsi sosial,pekerjaan atau area fungsi penting yang lain.
3. Insomnia karena faktor psikologis ini bukan termasuk narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan dengan pernafasan, gangguan ritme sirkadian atau parasomnia.
4. Insomnia karena faktor psikologis tidak terjadi karena gangguan mental lain seperti gangguan depresi, delirium.
5. Insomnia karena faktor psikologis tidak terjadi karena efek fisiologis yang langsung dari suatu zat seperti penyalahgunaan obat atau kondisi medis yang umum.
Dengan adanya gejela-gejala yang disebutkan oleh Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV), maka insomnia karena faktor psikologis dapat mengganggu berbagai fungsi sosial. (www.e-psikologi.com).

SIKLUS INSOMNIA KRONIS
Jika seseorang mengalami insomnia sementara karena faktor psikologis (mengalami kesulitan tidur dengan nyenyak selama kurang lebih satu malam dan kurang dari empat minggu) tetapi tidak dapat beradaptasi dengan penyebab insomnia (tidak mampu mengelola stres tersebut secara sehat) maka akan mengakibatkan seseorang mengalami insomnia jangka pendek (kesulitan tidur nyenyak selama empat minggu hingga enam bulan). Jika insomnia jangka pendek ini tetap tidak dapat diatasi oleh si penderita maka akan mengakibatkan insomnia kronis. Jika terjadi insomnia kronis maka akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk penyembuhannya (www.e-psikologi.com).
Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistim ARAS (Ascending Reticulary Activity System). Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang tersebut dalam keadaan terjaga. Aktifitas ARAS menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktifitas ARAS ini sangat dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmiter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kholonergik, histaminergik.
• Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisma asam amino trypthopan. Dengan    bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga meningkat akan    menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin dari tryptopan terhambat pembentukannya, maka terjadikeadaan tidak bisa tidur/jaga. Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem serotogenik ini terletak pada nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana terdapat hubungan aktifitas serotonis dinukleus raphe dorsalis dengan tidur REM.
• Sistem Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di badan sel nukleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan aktifitas neuron noradrenergic akan menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan jaga.
• Sistem Kholinergik
Sitaram et al (1976) membuktikan dengan pemberian prostigimin intra vena dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kholihergik ini, mengakibatkan aktifitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan aktifitas kholinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik (scopolamine) yang menghambat pengeluaran kholinergik dari lokus sereleus maka tamapk gangguan pada fase awal dan penurunan REM.
• Sistem histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur.
• Sistem hormon
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormone seperti ACTH, GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini masing-masing disekresi secara teratur oleh kelenjar pituitary anterior melalui hipotalamus patway. Sistem ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter norepinefrin, dopamin, serotonin yang bertugas menagtur mekanisme tidur dan bangun (perawat-jiwatiga.blogspot.com).

DAMPAK INSOMNIA
Insomnia dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan, yaitu:
1. Depresi
2. Kesulitan untuk berkonsentrasi
3. Aktivitas sehari-hari menjadi terganggu
4. prestasi kerja atau belajar mengalami penurunan
5. Mengalami kelelahan di siang hari
6. Hubungan interpersonal dengan orang lain menjadi buruk
7. Meningkatkan risiko kematian
8. Menyebabkan kecelakaan karena mengalami kelelahan yang berlebihan
9. Memunculkan berbagai penyakit fisik

Dampak insomnia tidak dapat di anggap remeh, karena bisa menimbulkan kondisi yang lebih serius dan membahayakan kesehatan dan keselamatan. Oleh karenanya, setiap penderita insomnia perlu mencari jalan keluar yang tepat (www.e-psikologi.com).

THERAPY
1. CBT (Cognitive Behavioral Therapy)
CBT digunakan untuk memperbaiki distorsi kognitif si penderita dalam memandang dirinya, lingkungannya, masa depannya, dan untuk meningkatkan rasa percaya dirinya sehingga si penderita merasa berdaya atau merasa bahwa dirinya masih berharga.

2. Sleep Restriction Therapy
Sleep restriction therapy digunakan untuk memperbaiki efisiensi tidur si penderita insomnia.

3. Stimulus Control Therapy
Stimulus control therapy berguna untuk mempertahankan waktu bangun pagi si penderita secara reguler dengan memperhatikan waktu tidur malam dan melarang si penderita untuk tidur pada siang hari meski hanya sesaat.

4. Relaxation Therapy
Relaxation Therapy berguna untuk membuat si penderita rileks pada saat dihadapkan pada kondisi yang penuh ketegangan.

5. Cognitive Therapy
Cognitive Therapy berguna untuk mengidentifikasi sikap dan kepercayaan si penderita yang salah mengenai tidur.

6. Imagery Training
Imagery Training berguna untuk mengganti pikiran-pikiran si penderita yang tidak menyenangkan menjadi pikiran-pikiran yang menyenangkan.

Banyak di antara para penderita insomnia karena factor psikologis yang menggunakan obat tidur untuk mengatasi insomnianya. Namun penggunaan yang terus menerus tentu menimbulkan efek samping yang negative, baik secara fisiologis (efek terhadap organ dan fungsi organ tubuh) serta efek psikologis. Logikanya, insomnia yang disebabkan factor psikologis, berarti factor psikologis itu lah yang harus di atasi, bukan symtomnya. Kalau kita hanya focus mengatasi simtom-nya dengan minum berbagai obat tidur, maka ketika mata terbuka, masalah akan datang kembali, bahkan akan dirasa lebih berat karena dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi pada akar masalah.

Perlu diketahui, bahwa keberhasilan terapi tergantung dari motivasi si penderita untuk sembuh sehingga si penderita harus sabar, tekun dan bersungguh-sungguh dalam menjalani sesi terapi. Selain itu, sebaiknya terapi yang dilakukan juga diiringi dengan pemberian terapi keluarga. Hal ini disebabkan, dalam terapi keluarga, anggota keluarga si penderita dilibatkan untuk membantu kesembuhan si penderita. Dalam terapi keluarga, anggota keluarga si penderita juga diberi tahu tentang seluk beluk kondisi si penderita dan diharapkan anggota keluarganya dapat berempati untuk membantu kesembuhan si penderita.

ASKEP
kaji efek samping pengobatan pada pola tidur klien.
pantau pola tidur klien dan catat hubungan faktor-faktor fisik (misalnya : apnea saat tidur, sumbatan jalan nafas, nyeri/ketidaknyamanan, dan sering berkemih).
jelaskan pada klien pentingnya tidur adekuat (selama kehamilan, sakit, stress psikososial).
ajarkan klien dan keluarga untuk menghindari faktor penyebab (misal : gaya hidup, diet, aktivitas, dan faktor lingkungan).
ajarkan klien dan kelurga dalam teknik relaksasi (pijat/urut sebelum tidur, mandi air hangat, minum susu hangat).

Solusi mencegah insomnia
Insomnia karena faktor psikologis dapat dicegah dengan cara memanage stres secara positif dan jika ada mengalami masalah sebaiknya sharing pada seseorang yang dapat Anda percaya. Semoga dengan pembahasan tentang insomnia ini, dapat memberikan manfaat bagi Anda. Dengan informasi ini, diharap kita pun bisa memahami penderita insomnia dan dapat memberikan bantuan yang tepat. Perhatian dan empati terhadap penderita insomnia, bisa sedikit mengobati kegalauan emosi jiwanya. Semoga bermanfaat.

KEPUSTAKAAN
http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=483
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18836979?ordinalpos=2&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DefaultReportPanel.Pubmed_RVDocSum
http://www.wrongdiagnosis.com/symptoms/insomnia/causes.htm
Kaplan, Harold I. & Sadock, Benjamin J. 1997. Sinopsis Psikiatri Jilid 2 edisi 7. Jakarta : Binarupa Aksara.
Wilkinson, Judit M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC.

Askep Fraktur

Askep Fraktur

I. PENGERTIAN
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan. (E. Oerswari, 1989 : 144).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347).
Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar. Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 1999 : 1138).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok (FKUI, 1995:543)
Fraktur olecranon adalah fraktur yang terjadi pada siku yang disebabkan oleh kekerasan langsung, biasanya kominuta dan disertai oleh fraktur lain atau dislokasi anterior dari sendi tersebut (FKUI, 1995:553).


II. ETIOLOGI
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.

III. KLASIFIKASI FRAKTUR FEMUR
a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yaitu :
1) Derajat I
- luka kurang dari 1 cm
- kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
- fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
- Kontaminasi ringan.
2) Derajat II
- Laserasi lebih dari 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
- Fraktur komuniti sedang.
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
c. Fraktur complete
• Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergerseran (bergeser dari posisi normal).
d. Fraktur incomplete
• Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
e. Jenis khusus fraktur
a) Bentuk garis patah
1) Garis patah melintang
2) Garis pata obliq
3) Garis patah spiral
4) Fraktur kompresi
5) Fraktur avulsi
b) Jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur segmental garis patah lebih dari satu tetapi saling berhubungan
3) Fraktur multiple garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan.
c) Bergeser-tidak bergeser
 Fraktur tidak bergeser garis patali kompli tetapi kedua fragmen tidak bergeser.
 Fraktur bergeser, terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut di lokasi fragmen (Smeltzer, 2001:2357).

IV. PATOFISIOLOGI
Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu :
1. Fase hematum
• Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematume disekitar fraktur
• Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat
2. Fase granulasi jaringan
• Terjadi 1 – 5 hari setelah injury
• Pada tahap phagositosis aktif produk neorosis
• Itematome berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi pembuluh darah baru fogoblast dan osteoblast.
3. Fase formasi callus
• Terjadi 6 – 10 harisetelah injuri
• Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus
4. Fase ossificasi
• Mulai pada 2 – 3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh
• Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan garam kalsium yang menyatukan tulang yang patah
5. Fase consolidasi dan remadelling
• Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus terbentuk dengan oksifitas osteoblast dan osteuctas (Black, 1993 : 19 ).

V. TANDA DAN GEJALA
1. Deformitas
Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang
2. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
5. Tenderness/keempukan
6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/perdarahan)
8. Pergerakan abnormal
9. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
10. Krepitasi (Black, 1993 : 199).

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Rontgen
 Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
 Mengetahui tempat dan type fraktur
Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan secara periodik
2. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 : dapat digunakan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
4. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menrurun ( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple)
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma
5. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau cedera hati (Doenges, 1999 : 76 ).

VII. PENATALAKSANAAN
1. Fraktur Reduction
 Manipulasi atau penurunan tertutup, manipulasi non bedah penyusunan kembali secara manual dari fragmen-fragmen tulang terhadap posisi otonomi sebelumnya.
 Penurunan terbuka merupakan perbaikan tulang terusan penjajaran insisi pembedahan, seringkali memasukkan internal viksasi terhadap fraktur dengan kawat, sekrup peniti plates batang intramedulasi, dan paku. Type lokasi fraktur tergantung umur klien.
Peralatan traksi :
o Traksi kulit biasanya untuk pengobatan jangka pendek
o Traksi otot atau pembedahan biasanya untuk periode jangka panjang.
2. Fraktur Immobilisasi
 Pembalutan (gips)
 Eksternal Fiksasi
 Internal Fiksasi
 Pemilihan Fraksi
3. Fraksi terbuka
 Pembedahan debridement dan irigrasi
 Imunisasi tetanus
 Terapi antibiotic prophylactic
 Immobilisasi (Smeltzer, 2001).

MANAJEMEN KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien Post op frakture Olecranon (Doenges, 1999) meliputi :
a. Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular perifer, atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus).
b. Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress multiple, misalnya financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ; stimulasi simpatis.
c. Makanan / cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis) ; malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane mukosa yang kering (pembatasan pemasukkan / periode puasa pra operasi).
d. Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
e. Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ; Defisiensi immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan) ; Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ; Riwayat penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse.
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
f. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi, kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan, analgesic, antiinflamasi, antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga potensial bagi penarikan diri pasca operasi).

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 : 17).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.

III. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994:20)
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op frakture Olecranon (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : - Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri.
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.

2. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil : - perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.

3. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.

4. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : - penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
    0 = mandiri penuh
    1 = memerlukan alat Bantu.
    2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
    3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
    4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
g. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
h. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
i. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
j. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
k. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.

5. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.
Kriteria Hasil : - melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.
- memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan.
Intervensi dan Implementasi:
a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
b. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.

IV. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan post operasi fraktur adalah :
1. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
3. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
4. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
5. Infeksi tidak terjadi / terkontrol
6. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA
Black, Joyce M. 1993. Medical Surgical Nursing. W.B Sainders Company : Philadelpia
Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit. EGC : Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.
E. Oerswari 1989, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia. Jakarta
Nasrul, Effendi. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC. Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi. EGC : Jakarta
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Binarupa Aksara : Jakarta

Askep Anemia

Askep Anemia

A. Pengertian
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, elemen tak adekuat atau kurangnya nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah (Doenges, 1999).
Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitungan sel darah merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal (Smeltzer, 2002 : 935).
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006 : 256).
Dengan demikian anemia bukan merupakan suatu diagnosis atau penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh dan perubahan patotisiologis yang mendasar yang diuraikan melalui anemnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan informasi laboratorium.

B. Etiologi
Penyebab tersering dari anemia adalah kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk sintesis eritrosit, antara lain besi, vitamin B12 dan asam folat. Selebihnya merupakan akibat dari beragam kondisi seperti perdarahan, kelainan genetik, penyakit kronik, keracunan obat, dan sebagainya.


Penyebab umum dari anemia:

  • Perdarahan hebat
  • Akut (mendadak)
  • Kecelakaan
  • Pembedahan
  • Persalinan
  • Pecah pembuluh darah
  • Penyakit Kronik (menahun)
  • Perdarahan hidung
  • Wasir (hemoroid)
  • Ulkus peptikum
  • Kanker atau polip di saluran pencernaan
  • Tumor ginjal atau kandung kemih
  • Perdarahan menstruasi yang sangat banyak
  • Berkurangnya pembentukan sel darah merah
  • Kekurangan zat besi
  • Kekurangan vitamin B12
  • Kekurangan asam folat
  • Kekurangan vitamin C
  • Penyakit kronik
  • Meningkatnya penghancuran sel darah merah
  • Pembesaran limpa
  • Kerusakan mekanik pada sel darah merah
  • Reaksi autoimun terhadap sel darah merah
  • Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
  • Sferositosis herediter
  • Elliptositosis herediter
  • Kekurangan G6PD
  • Penyakit sel sabit
  • Penyakit hemoglobin C
  • Penyakit hemoglobin S-C
  • Penyakit hemoglobin E
  • Thalasemia (Burton, 1990).
C. Patofisiologi
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sum-sum tulang atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sum-sum tulang dapt terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, inuasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi) pada kasus yang disebut terakhir, masalah dapat akibat efek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa factor diluar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam system fagositik atau dalam system retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini bilirubin yang sedang terbentuk dalam fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direpleksikan dengan meningkatkan bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang ; kadar 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera.
Anemia merupakan penyakit kurang darah yang ditandai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit). Fungsi darah adalah membawa makanan dan oksigen ke seluruh organ tubuh. Jika suplai ini kurang, maka asupan oksigen pun akan kurang. Akibatnya dapat menghambat kerja organ-organ penting, Salah satunya otak. Otak terdiri dari 2,5 miliar sel bioneuron. Jika kapasitasnya kurang, maka otak akan seperti komputer yang memorinya lemah, Lambat menangkap. Dan kalau sudah rusak, tidak bisa diperbaiki (Sjaifoellah, 1998).

D. Manifestasi klinis
Gejala klinis yang muncul merefleksikan gangguan fungsi dari berbagai sistem dalam tubuh antara lain penurunan kinerja fisik, gangguan neurologik (syaraf) yang dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, anorexia (badan kurus kerempeng), pica, serta perkembangan kognitif yang abnormal pada anak. Sering pula terjadi abnormalitas pertumbuhan, gangguan fungsi epitel, dan berkurangnya keasaman lambung. Cara mudah mengenal anemia dengan 5L, yakni lemah, letih, lesu, lelah, lalai. Kalau muncul 5 gejala ini, bisa dipastikan seseorang terkena anemia. Gejala lain adalah munculnya sklera (warna pucat pada bagian kelopak mata bawah).
Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga dan kepala terasa melayang. Jika anemia bertambah berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung(Sjaifoellah, 1998).

E. Komplikasi
Anemia juga menyebabkan daya tahan tubuh berkurang. Akibatnya, penderita anemia akan mudah terkena infeksi. Gampang batuk-pilek, gampang flu, atau gampang terkena infeksi saluran napas, jantung juga menjadi gampang lelah, karena harus memompa darah lebih kuat. Pada kasus ibu hamil dengan anemia, jika lambat ditangani dan berkelanjutan dapat menyebabkan kematian, dan berisiko bagi janin. Selain bayi lahir dengan berat badan rendah, anemia bisa juga mengganggu perkembangan organ-organ tubuh, termasuk otak (Sjaifoellah, 1998).

F. Pemeriksaan penunjang
Jumlah darah lengkap (JDL) : hemoglobin dan hemalokrit menurun.
Jumlah eritrosit : menurun (AP), menurun berat (aplastik); MCV (molume korpuskular rerata) dan MCH (hemoglobin korpuskular rerata) menurun dan mikrositik dengan eritrosit hipokronik (DB), peningkatan (AP). Pansitopenia (aplastik).
Jumlah retikulosit : bervariasi, misal : menurun (AP), meningkat (respons sumsum tulang terhadap kehilangan darah/hemolisis).
Pewarna sel darah merah : mendeteksi perubahan warna dan bentuk (dapat mengindikasikan tipe khusus anemia).
LED : Peningkatan menunjukkan adanya reaksi inflamasi, misal : peningkatan kerusakan sel darah merah : atau penyakit malignasi.
Masa hidup sel darah merah : berguna dalam membedakan diagnosa anemia, misal : pada tipe anemia tertentu, sel darah merah mempunyai waktu hidup lebih pendek.
Tes kerapuhan eritrosit : menurun (DB).
SDP : jumlah sel total sama dengan sel darah merah (diferensial) mungkin meningkat (hemolitik) atau menurun (aplastik).
Jumlah trombosit : menurun caplastik; meningkat (DB); normal atau tinggi (hemolitik)
Hemoglobin elektroforesis : mengidentifikasi tipe struktur hemoglobin.
Bilirubin serum (tak terkonjugasi): meningkat (AP, hemolitik).
Folat serum dan vitamin B12 membantu mendiagnosa anemia sehubungan dengan defisiensi masukan/absorpsi
Besi serum : tak ada (DB); tinggi (hemolitik)
TBC serum : meningkat (DB)
Feritin serum : meningkat (DB)
Masa perdarahan : memanjang (aplastik)
LDH serum : menurun (DB)
Tes schilling : penurunan eksresi vitamin B12 urine (AP)
Guaiak : mungkin positif untuk darah pada urine, feses, dan isi gaster, menunjukkan perdarahan akut / kronis (DB).
Analisa gaster : penurunan sekresi dengan peningkatan pH dan tak adanya asam hidroklorik bebas (AP).
Aspirasi sumsum tulang/pemeriksaan/biopsi : sel mungkin tampak berubah dalam jumlah, ukuran, dan bentuk, membentuk, membedakan tipe anemia, misal: peningkatan megaloblas (AP), lemak sumsum dengan penurunan sel darah (aplastik).
Pemeriksaan andoskopik dan radiografik : memeriksa sisi perdarahan : perdarahan GI (Doenges, 1999).
G. Penatalaksanaan Medis
Tindakan umum :
Penatalaksanaan anemia ditunjukan untuk mencari penyebab dan mengganti darah yang hilang.
1. Transpalasi sel darah merah.
2. Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi.
3. Suplemen asam folat dapat merangsang pembentukan sel darah merah.
4. Menghindari situasi kekurangan oksigen atau aktivitas yang membutuhkan oksigen
5. Obati penyebab perdarahan abnormal bila ada.
6. Diet kaya besi yang mengandung daging dan sayuran hijau.
Pengobatan (untuk pengobatan tergantung dari penyebabnya) :
1. Anemia defisiensi besi
Penatalaksanaan :
Mengatur makanan yang mengandung zat besi, usahakan makanan yang diberikan seperti ikan, daging, telur dan sayur.
Pemberian preparat fe
Perrosulfat 3x 200mg/hari/per oral sehabis makan
Peroglukonat 3x 200 mg/hari /oral sehabis makan.
2. Anemia pernisiosa : pemberian vitamin B12
3. Anemia asam folat : asam folat 5 mg/hari/oral
4. Anemia karena perdarahan : mengatasi perdarahan dan syok dengan pemberian cairan dan transfusi darah.

MANAJEMEN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluru(Boedihartono, 1994).
Pengkajian pasien dengan anemia (Doenges, 1999) meliputi :
1) Aktivitas / istirahat
Gejala : keletihan, kelemahan, malaise umum. Kehilangan produktivitas ; penurunan semangat untuk bekerja. Toleransi terhadap latihan rendah. Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak.
Tanda : takikardia/ takipnae ; dispnea pada waktu bekerja atau istirahat. Letargi, menarik diri, apatis, lesu, dan kurang tertarik pada sekitarnya. Kelemahan otot, dan penurunan kekuatan. Ataksia, tubuh tidak tegak. Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-tanda lain yang menunujukkan keletihan.
2) Sirkulasi
Gejala : riwayat kehilangan darah kronik, misalnya perdarahan GI kronis, menstruasi berat (DB), angina, CHF (akibat kerja jantung berlebihan). Riwayat endokarditis infektif kronis. Palpitasi (takikardia kompensasi).
Tanda : TD : peningkatan sistolik dengan diastolik stabil dan tekanan nadi melebar, hipotensi postural. Disritmia : abnormalitas EKG, depresi segmen ST dan pendataran atau depresi gelombang T; takikardia. Bunyi jantung : murmur sistolik (DB). Ekstremitas (warna) : pucat pada kulit dan membrane mukosa (konjuntiva, mulut, faring, bibir) dan dasar kuku. (catatan: pada pasien kulit hitam, pucat dapat tampak sebagai keabu-abuan). Kulit seperti berlilin, pucat (aplastik, AP) atau kuning lemon terang (AP). Sklera : biru atau putih seperti mutiara (DB). Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran darah ke kapiler dan vasokontriksi kompensasi) kuku : mudah patah, berbentuk seperti sendok (koilonikia) (DB). Rambut : kering, mudah putus, menipis, tumbuh uban secara premature (AP).
3) Integritas ego
Gejala : keyakinanan agama/budaya mempengaruhi pilihan pengobatan, misalnya penolakan transfusi darah.
Tanda : depresi.
4) Eleminasi
Gejala : riwayat pielonefritis, gagal ginjal. Flatulen, sindrom malabsorpsi (DB). Hematemesis, feses dengan darah segar, melena. Diare atau konstipasi. Penurunan haluaran urine.
Tanda : distensi abdomen.
5) Makanan/cairan
Gejala : penurunan masukan diet, masukan diet protein hewani rendah/masukan produk sereal tinggi (DB). Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring). Mual/muntah, dyspepsia, anoreksia. Adanya penurunan berat badan. Tidak pernah puas mengunyah atau peka terhadap es, kotoran, tepung jagung, cat, tanah liat, dan sebagainya (DB).
Tanda : lidah tampak merah daging/halus (AP; defisiensi asam folat dan vitamin B12). Membrane mukosa kering, pucat. Turgor kulit : buruk, kering, tampak kisut/hilang elastisitas (DB). Stomatitis dan glositis (status defisiensi). Bibir : selitis, misalnya inflamasi bibir dengan sudut mulut pecah. (DB).
6) Neurosensori
Gejala : sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidak mampuan berkonsentrasi. Insomnia, penurunan penglihatan, dan bayangan pada mata. Kelemahan, keseimbangan buruk, kaki goyah ; parestesia tangan/kaki (AP) ; klaudikasi. Sensasi manjadi dingin.
Tanda : peka rangsang, gelisah, depresi cenderung tidur, apatis. Mental : tak mampu berespons, lambat dan dangkal. Oftalmik : hemoragis retina (aplastik, AP). Epitaksis : perdarahan dari lubang-lubang (aplastik). Gangguan koordinasi, ataksia, penurunan rasa getar, dan posisi, tanda Romberg positif, paralysis (AP).
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen samara : sakit kepala (DB)
8) Pernapasan
Gejala : riwayat TB, abses paru. Napas pendek pada istirahat dan aktivitas.
Tanda : takipnea, ortopnea, dan dispnea.
9) Keamanan
Gejala : riwayat pekerjaan terpajan terhadap bahan kimia,. Riwayat terpajan pada radiasi; baik terhadap pengobatan atau kecelekaan. Riwayat kanker, terapi kanker. Tidak toleran terhadap dingin dan panas. Transfusi darah sebelumnya. Gangguan penglihatan, penyembuhan luka buruk, sering infeksi.
Tanda : demam rendah, menggigil, berkeringat malam, limfadenopati umum. Ptekie dan ekimosis (aplastik).
10) Seksualitas
Gejala : perubahan aliran menstruasi, misalnya menoragia atau amenore (DB). Hilang libido (pria dan wanita). Imppoten.
Tanda : serviks dan dinding vagina pucat.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan anemia (Doenges, 1999) meliputi :
1. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan sekunder (penurunan hemoglobin leucopenia, atau penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan)).
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan /absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.
4. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel.
5. Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan neurologist.
6. Konstipasi atau Diare berhubungan dengan penurunan masukan diet; perubahan proses pencernaan; efek samping terapi obat.
7. Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurang terpajan/mengingat ; salah interpretasi informasi ; tidak mengenal sumber informasi.

C. Intervensi/Implementasi keperawatan
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994)
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995).
Intervensi dan implementasi keperawatan pasien dengan anemia (Doenges, 1999) adalah :
1) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan sekunder (penurunan hemoglobin leucopenia, atau penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan)).
Tujuan : Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil : - mengidentifikasi perilaku untuk mencegah/menurunkan risiko infeksi.
- meningkatkan penyembuhan luka, bebas drainase purulen atau eritema, dan demam.

INTERVENSI & IMPLEMENTASI
 Tingkatkan cuci tangan yang baik ; oleh pemberi perawatan dan pasien.
Rasional : mencegah kontaminasi silang/kolonisasi bacterial. Catatan : pasien dengan anemia berat/aplastik dapat berisiko akibat flora normal kulit.
 Pertahankan teknik aseptic ketat pada prosedur/perawatan luka.
Rasional : menurunkan risiko kolonisasi/infeksi bakteri.
 Berikan perawatan kulit, perianal dan oral dengan cermat.
Rasional : menurunkan risiko kerusakan kulit/jaringan dan infeksi.
 Motivasi perubahan posisi/ambulasi yang sering, latihan batuk dan napas dalam.
Rasional : meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan membantu memobilisasi sekresi untuk mencegah pneumonia.
 Tingkatkan masukkan cairan adekuat.
Rasional : membantu dalam pengenceran secret pernapasan untuk mempermudah pengeluaran dan mencegah stasis cairan tubuh misalnya pernapasan dan ginjal.
 Pantau/batasi pengunjung. Berikan isolasi bila memungkinkan.
Rasional : membatasi pemajanan pada bakteri/infeksi. Perlindungan isolasi dibutuhkan pada anemia aplastik, bila respons imun sangat terganggu.
 Pantau suhu tubuh. Catat adanya menggigil dan takikardia dengan atau tanpa demam.
Rasional : adanya proses inflamasi/infeksi membutuhkan evaluasi/pengobatan.
 Amati eritema/cairan luka.
Rasional : indikator infeksi lokal. Catatan : pembentukan pus mungkin tidak ada bila granulosit tertekan.
 Ambil specimen untuk kultur/sensitivitas sesuai indikasi (kolaborasi)
Rasional : membedakan adanya infeksi, mengidentifikasi pathogen khusus dan mempengaruhi pilihan pengobatan.
 Berikan antiseptic topical ; antibiotic sistemik (kolaborasi).
Rasional : mungkin digunakan secara propilaktik untuk menurunkan kolonisasi atau untuk pengobatan proses infeksi local.

2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan /absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil : - menunujukkan peningkatan/mempertahankan berat badan dengan nilai laboratorium normal.
- tidak mengalami tanda mal nutrisi.
- Menununjukkan perilaku, perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat badan yang sesuai.


INTERVENSI & IMPLEMENTASI
 Kaji riwayat nutrisi, termasuk makan yang disukai.
Rasional : mengidentifikasi defisiensi, memudahkan intervensi.
 Observasi dan catat masukkan makanan pasien.
Rasional : mengawasi masukkan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi makanan.
 Timbang berat badan setiap hari.
Rasional : mengawasi penurunan berat badan atau efektivitas intervensi nutrisi.
 Berikan makan sedikit dengan frekuensi sering dan atau makan diantara waktu makan.
Rasional : menurunkan kelemahan, meningkatkan pemasukkan dan mencegah distensi gaster.
 Observasi dan catat kejadian mual/muntah, flatus dan dan gejala lain yang berhubungan.
Rasional : gejala GI dapat menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada organ.
 Berikan dan Bantu hygiene mulut yang baik ; sebelum dan sesudah makan, gunakan sikat gigi halus untuk penyikatan yang lembut. Berikan pencuci mulut yang di encerkan bila mukosa oral luka.
Rasional : meningkatkan nafsu makan dan pemasukkan oral. Menurunkan pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan infeksi. Teknik perawatan mulut khusus mungkin diperlukan bila jaringan rapuh/luka/perdarahan dan nyeri berat.

 Kolaborasi pada ahli gizi untuk rencana diet.
Rasional : membantu dalam rencana diet untuk memenuhi kebutuhan individual.
 Kolaborasi ; pantau hasil pemeriksaan laboraturium.
Rasional : meningkatakan efektivitas program pengobatan, termasuk sumber diet nutrisi yang dibutuhkan.
 Kolaborasi ; berikan obat sesuai indikasi.
Rasional : kebutuhan penggantian tergantung pada tipe anemia dan atau adanyan masukkan oral yang buruk dan defisiensi yang diidentifikasi.

3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.
Tujuan : dapat mempertahankan/meningkatkan ambulasi/aktivitas.
Kriteria hasil : - melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-hari)
- menunjukkan penurunan tanda intolerasi fisiologis, misalnya nadi, pernapasan, dan tekanan darah masih dalam rentang normal.

INTERVENSI & IMPLEMENTASI
 Kaji kemampuan ADL pasien.
Rasional : mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan.
 Kaji kehilangan atau gangguan keseimbangan, gaya jalan dan kelemahan otot.
Rasional : menunjukkan perubahan neurology karena defisiensi vitamin B12 mempengaruhi keamanan pasien/risiko cedera.
 Observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas.
Rasional : manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan.
 Berikan lingkungan tenang, batasi pengunjung, dan kurangi suara bising, pertahankan tirah baring bila di indikasikan.
Rasional : meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan regangan jantung dan paru.
 Gunakan teknik menghemat energi, anjurkan pasien istirahat bila terjadi kelelahan dan kelemahan, anjurkan pasien melakukan aktivitas semampunya (tanpa memaksakan diri).
Rasional : meningkatkan aktivitas secara bertahap sampai normal dan memperbaiki tonus otot/stamina tanpa kelemahan. Meingkatkan harga diri dan rasa terkontrol.
4) Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel.
Tujuan : peningkatan perfusi jaringan
Kriteria hasil : - menunjukkan perfusi adekuat, misalnya tanda vital stabil.



INTERVENSI & IMPLEMENTASI
 Awasi tanda vital kaji pengisian kapiler, warna kulit/membrane mukosa, dasar kuku.
Rasional : memberikan informasi tentang derajat/keadekuatan perfusi jaringan dan membantu menetukan kebutuhan intervensi.
 Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.
Rasional : meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan oksigenasi untuk kebutuhan seluler. Catatan : kontraindikasi bila ada hipotensi.
 Awasi upaya pernapasan ; auskultasi bunyi napas perhatikan bunyi adventisius.
Rasional : dispnea, gemericik menununjukkan gangguan jajntung karena regangan jantung lama/peningkatan kompensasi curah jantung.
 Selidiki keluhan nyeri dada/palpitasi.
Rasional : iskemia seluler mempengaruhi jaringan miokardial/ potensial risiko infark.
 Hindari penggunaan botol penghangat atau botol air panas. Ukur suhu air mandi dengan thermometer.
Rasional : termoreseptor jaringan dermal dangkal karena gangguan oksigen.
 Kolaborasi pengawasan hasil pemeriksaan laboraturium. Berikan sel darah merah lengkap/packed produk darah sesuai indikasi.
Rasional : mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan /respons terhadap terapi.
 Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
Rasional : memaksimalkan transport oksigen ke jaringan.

5) Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan neurologist.
Tujuan : dapat mempertahankan integritas kulit.
Kriteria hasil : - mengidentifikasi factor risiko/perilaku individu untuk mencegah cedera dermal.

INTERVENSI & IMPLEMENTASI
 Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, hangat local, eritema, ekskoriasi.
Rasional : kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi, nutrisi dan imobilisasi. Jaringan dapat menjadi rapuh dan cenderung untuk infeksi dan rusak.
 Reposisi secara periodic dan pijat permukaan tulang apabila pasien tidak bergerak atau ditempat tidur.
Rasional : meningkatkan sirkulasi kesemua kulit, membatasi iskemia jaringan/mempengaruhi hipoksia seluler.
 Anjurkan pemukaan kulit kering dan bersih. Batasi penggunaan sabun.
Rasional : area lembab, terkontaminasi, memberikan media yang sangat baik untuk pertumbuhan organisme patogenik. Sabun dapat mengeringkan kulit secara berlebihan.
 Bantu untuk latihan rentang gerak.
Rasional : meningkatkan sirkulasi jaringan, mencegah stasis.
 Gunakan alat pelindung, misalnya kulit domba, keranjang, kasur tekanan udara/air. Pelindung tumit/siku dan bantal sesuai indikasi. (kolaborasi)
Rasional : menghindari kerusakan kulit dengan mencegah /menurunkan tekanan terhadap permukaan kulit.

6) Konstipasi atau Diare berhubungan dengan penurunan masukan diet; perubahan proses pencernaan; efek samping terapi obat.
Tujuan : membuat/kembali pola normal dari fungsi usus.
Kriteria hasil : - menunjukkan perubahan perilaku/pola hidup, yang diperlukan sebagai penyebab, factor pemberat.

INTERVENSI & IMPLEMENTASI
 Observasi warna feses, konsistensi, frekuensi dan jumlah.
Rasional : membantu mengidentifikasi penyebab /factor pemberat dan intervensi yang tepat.
 Auskultasi bunyi usus.
Rasional : bunyi usus secara umum meningkat pada diare dan menurun pada konstipasi.
 Awasi intake dan output (makanan dan cairan).
Rasional : dapat mengidentifikasi dehidrasi, kehilangan berlebihan atau alat dalam mengidentifikasi defisiensi diet.
 Dorong masukkan cairan 2500-3000 ml/hari dalam toleransi jantung.
Rasional : membantu dalam memperbaiki konsistensi feses bila konstipasi. Akan membantu memperthankan status hidrasi pada diare.
 Hindari makanan yang membentuk gas.
Rasional : menurunkan distress gastric dan distensi abdomen
 Kaji kondisi kulit perianal dengan sering, catat perubahan kondisi kulit atau mulai kerusakan. Lakukan perawatan perianal setiap defekasi bila terjadi diare.
Rasional : mencegah ekskoriasi kulit dan kerusakan.
 Kolaborasi ahli gizi untuk diet siembang dengan tinggi serat dan bulk.
Rasional : serat menahan enzim pencernaan dan mengabsorpsi air dalam alirannya sepanjang traktus intestinal dan dengan demikian menghasilkan bulk, yang bekerja sebagai perangsang untuk defekasi.
 Berikan pelembek feses, stimulant ringan, laksatif pembentuk bulk atau enema sesuai indikasi. Pantau keefektifan. (kolaborasi)
Rasional : mempermudah defekasi bila konstipasi terjadi.
 Berikan obat antidiare, misalnya Defenoxilat Hidroklorida dengan atropine (Lomotil) dan obat mengabsorpsi air, misalnya Metamucil. (kolaborasi).
Rasional : menurunkan motilitas usus bila diare terjadi.
7) Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurang terpajan/mengingat ; salah interpretasi informasi ; tidak mengenal sumber informasi.
Tujuan : pasien mengerti dan memahami tentang penyakit, prosedur diagnostic dan rencana pengobatan.
Kriteria hasil : - pasien menyatakan pemahamannya proses penyakit dan penatalaksanaan penyakit.
- mengidentifikasi factor penyebab.
- Melakukan tiindakan yang perlu/perubahan pola hidup.

INTERVENSI & IMPLEMENTASI
 Berikan informasi tentang anemia spesifik. Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan beratnya anemia.
Rasional : memberikan dasar pengetahuan sehingga pasien dapat membuat pilihan yang tepat. Menurunkan ansietas dan dapat meningkatkan kerjasama dalam program terapi.
 Tinjau tujuan dan persiapan untuk pemeriksaan diagnostic.
Rasional : ansietas/ketakutan tentang ketidaktahuan meningkatkan stress, selanjutnya meningkatkan beban jantung. Pengetahuan menurunkan ansietas.
 Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
Rasional : megetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
 Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
Rasional : dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.
 Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.
Rasional : diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
 Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
Rasional : mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.

D. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan, dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. (Lynda Juall Capenito, 1999:28)
Evaluasi pada pasien dengan anemia adalah :
1) Infeksi tidak terjadi.
2) Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
3) Pasien dapat mempertahankan/meningkatkan ambulasi/aktivitas.
4) Peningkatan perfusi jaringan.
5) Dapat mempertahankan integritas kulit.
6) Membuat/kembali pola normal dari fungsi usus.
7) Pasien mengerti dan memahami tentang penyakit, prosedur diagnostic dan rencana pengobatan.



DAFTAR PUSTAKA
  • Boedihartono. 1994. Proses Keperawatan di Rumah Sakit. Jakarta.
  • Burton, J.L. 1990. Segi Praktis Ilmu Penyakit Dalam. Binarupa Aksara : Jakarta
  • Carpenito, L. J. 1999. Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2. EGC : Jakarta
  • Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian pasien. ed.3. EGC : Jakarta
  • Effendi , Nasrul. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC : Jakarta.
  • Hassa. 1985. Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. FKUI : Jakarta
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Anemia
  • http://www.kompas.com/ver1/Kesehatan/0611/30/104458.htm
  • Noer, Sjaifoellah. 1998. Standar Perawatan Pasien. Monica Ester : Jakarta.
  • Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.

Askep Myocarditis

Askep Myocarditis

A. PENGERTIAN
Myocardium lapisan medial dinding jantung yang terdiri atas jaringan otot jantung yang sangat khusus (Brooker, 2001).
Myocarditis adalah peradangan pada otot jantung atau miokardium. pada umumnya disebabkan oleh penyakit-penyakit infeksi, tetapi dapat sebagai akibat reaksi alergi terhadap obat-obatan dan efek toxin bahan-bahan kimia dan radiasi (FKUI, 1999).
Myocarditis adalah peradangan dinding otot jantung yang disebabkan oleh infeksi atau penyebab lain sampai yang tidak diketahui (idiopatik) (Dorland, 2002).
Miokarditis adalah inflamasi fokal atau menyebar dari otot jantung (miokardium) (Doenges, 1999).
Dari pebgertian diatas dapat disimpulkan bahwa myocarditis adalah peradangan/inflamasi otot jantung oleh berbagai penyebab terutama agen-agen infeksi.


B. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
1) Acute isolated myocarditis adalah miokarditis interstitial acute dengan etiologi tidak diketahui.
2) Bacterial myocarditis adalah miokarditis yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
3) Chronic myocarditis adalah penyakit radang miokardial kronik.
4) Diphtheritic myocarditis adalah mikarditis yang disebabkan oleh toksin bakteri yang dihasilkan pada difteri : lesi primer bersifat degeneratiff dan nekrotik dengan respons radang sekunder.
5) Fibras myocarditis adalah fibrosis fokal/difus mikardial yang disebabkan oleh peradangan kronik.
6) Giant cell myocarditis adalah subtype miokarditis akut terisolasi yang ditandai dengan adanya sel raksasa multinukleus dan sel-sel radang lain, termasuk limfosit, sel plasma dan makrofag dan oleh dilatasi ventikel, trombi mural, dan daerah nekrosis yang tersebar luas.
7) Hypersensitivity myocarditis adalah mikarditis yang disebabkan reaksi alergi yang disebabkan oleh hipersensitivitas terhadap berbagai obat, terutama sulfonamide, penicillin, dan metildopa.
8) Infection myocarditis adalah disebabkan oleh agen infeksius ; termasuk bakteri, virus, riketsia, protozoa, spirochaeta, dan fungus. Agen tersebut dapat merusak miokardium melalui infeksi langsung, produksi toksin, atau perantara respons immunologis.
9) Interstitial myocarditis adalah mikarditis yang mengenai jaringan ikat interstitial.
10) Parenchymatus myocarditis adalah miokarditis yang terutama mengenai substansi ototnya sendiri.
11) Protozoa myocarditis adalah miokarditis yang disebabkan oleh protozoa terutama terjadi pada penyakit Chagas dan toxoplasmosis.
12) Rheumatic myocarditis adalah gejala sisa yang umum pada demam reumatik.
13) Rickettsial myocarditis adalah mikarditis yang berhubungan dengan infeksi riketsia.
14) Toxic myocarditis adalah degenerasi dan necrosis fokal serabut miokardium yang disebabkan oleh obat, bahan kimia, bahan fisik, seperti radiasi hewan/toksin serangga atau bahan/keadaan lain yang menyebabkan trauma pada miokardium.
15) Tuberculosis myocarditis adalah peradangan granulumatosa miokardium pada tuberkulosa.
16) Viral myocarditis disebabkan oleh infeksi virus terutama oleh enterovirus ; paling sering terjadi pada bayi, wanita hamil, dan pada pasien dengan tanggap immune rendah (Dorland, 2002).

C. PATOFISIOLOGI
Kerusakan miokard oleh kuman-kuman infeksius dapat melalui tiga mekanisme dasar :
1) Invasi langsung ke miokard.
2) Proses immunologis terhadap miokard.
3) Mengeluarkan toksin yang merusak miokardium.
Proses miokarditis viral ada 2 tahap :
Fase akut berlangsung kira-kira satu minggu, dimana terjadi invasi virus ke miokard, replikasi virus dan lisis sel. Kemudian terbentuk neutralizing antibody dan virus akan dibersihkan atau dikurangi jumlahnya dengan bantuan makrofag dan natural killer cell (sel NK).
Pada fase berikutnya miokard diinfiltrasi oleh sel-sel radang dan system immune akan diaktifkan antara lain dengan terbentuknya antibody terhadap miokard, akibat perubahan permukaan sel yang terpajan oleh virus. Fase ini berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan diikuti kerusakan miokard dari yang minimal sampai yang berat (FKUI, 1999).
D. GEJALA KLINIS
 Letih.
 Napas pendek.
 Detak jantung tidak teratur.
 Demam.
 Gejala-gejala lain karena gangguan yang mendasarinya (Griffith, 1994).
 Menggigil.
 Demam.
 Anoreksia.
 Nyeri dada.
 Dispnea dan disritmia.
 Tamponade ferikardial/kompresi (pada efusi perikardial) (DEPKES, 1993).

E. KOMPLIKASI
1) Kardiomiopati kongestif/dilated.
2) Payah jantung kongestif.
3) Efusi perikardial.
4) AV block total.
5) Trombi Kardiac (FKUI, 1999).

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1) Laboratorium : leukosit, LED, limfosit, LDH.
2) Elektrokardiografi.
3) Rontgen thorax.
4) Ekokardiografi.
5) Biopsi endomiokardial (FKUI, 1999).

G. PENATALAKSANAAN
1) Perawatan untuk tindakan observasi.
2) Tirah baring/pembatasan aktivitas.
3) Antibiotik atau kemoterapeutik.
4) Pengobatan sistemik supportif ditujukan pada penyakti infeksi sistemik (FKUI, 1999).
5) Antibiotik.
6) Obat kortison.
7) Jika berkembang menjadi gagal jantung kongestif : diuretik untuk mnegurangi retensi ciaran ; digitalis untuk merangsang detak jantung ; obat antibeku untuk mencegah pembentukan bekuan (Griffith, 1994).

MANAJEMEN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien myocarditis (Marilynn E. Doenges, 1999) meliputi :
 Aktivitas / istirahat
Gejala : kelelahan, kelemahan.
Tanda : takikardia, penurunan tekanan darah, dispnea dengan aktivitas.
 Sirkulasi
Gejala : riwayat demam rematik, penyakit jantung congenital, bedah jantung, palpitasi, jatuh pingsan.
Tanda : takikardia, disritmia, perpindaha titik impuls maksimal, kardiomegali, frivtion rub, murmur, irama gallop (S3 dan S4), edema, DVJ, petekie, hemoragi splinter, nodus osler, lesi Janeway.
 Eleminasi
Gejala : riwayat penyakit ginjal/gagal ginjal ; penurunan frekuensi/jumlsh urine.
Tanda : urin pekat gelap.
 Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : nyeri pada dada anterior (sedang sampai berat/tajam) diperberat oleh inspirasi, batuk, gerakkan menelan, berbaring.
Tanda : perilaku distraksi, misalnya gelisah.
 Pernapasan
Gejala : napas pendek ; napas pendek kronis memburuk pada malam hari (miokarditis).
Tanda : dispnea, DNP (dispnea nocturnal paroxismal) ; batuk, inspirasi mengi ; takipnea, krekels, dan ronkhi ; pernapasan dangkal.
 Keamanan
Gejala : riwayat infeksi virus, bakteri, jamur (miokarditis ; trauma dada ; penyakit keganasan/iradiasi thorakal ; dalam penanganan gigi ; pemeriksaan endoskopik terhadap sitem GI/GU), penurunan system immune, SLE atau penyakit kolagen lainnya.
Tanda : demam.
 Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : terapi intravena jangka panjang atau pengguanaan kateter indwelling atau penyalahgunaan obat parenteral.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 : 17).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah :
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi miokardium, efek-efek sistemik dari infeksi, iskemia jaringan.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan degenerasi sel-sel otot miokard, penurunan curah jantung.
3. Risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan degenerasi otot jantung, penurunan/kontriksi fungsi ventrikel.
4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, rencana pengobatan berhubungan dengan kurang pengetahuan/daya ingat, mis- intepretasi informasi, keterbatasan kognitif, menyangkal diagnosa.

C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994:20)
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999).
1. Nyeri
Tujuan : nyeri hilang atau terkontrol.
Kriteria Hasil : - Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
 Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikan awitan dan faktor pemberat atau penurun. Perhatikan petunjuk nonverbal dari ketidaknyamanan, misalnya ; berbaring dengan diam/gelisah, tegangan otot, menangis.
R : pada nyeri ini memburuk pada inspirasi dalam, gerakkan atau berbaring dan hilang dengan duduk tegak/membungkuk.
 Berikan lingkungan yang tenang dan tindakan kenyamanan misalnya ; perubahan posisi, gosokkan punggung, penggunaan kompres hangat/dingin, dukungan emosional.
R : tindakan ini dapat menurunkan ketidaknyamanan fisik dan emosional pasien.
 Berikan aktivitas hiburan yang tepat.
R : mengarahkan kembali perhatian, memberikan distraksi dalam tingkat aktivitas individu.
 Kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai indikasi (agen nonsteroid : aspirin, indocin ; antipiretik ; steroid).
R : dapat menghilangkan nyeri, menurunkan respons inflamasi, menurunkan demam ; steroid diberikan untuk gejala yang lebih berat.
 kolaborasi pemberian oksigen suplemen sesuai indikasi.
R : memaksimalkan ketersediaan oksigen untuk menurunkan beban kerja jantung.

2. Intoleransi aktivitas
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil : - perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.

Intervensi dan Implementasi :
 Kaji respons pasien terhadap aktivitas. Perhatikan adanya perubahan dan keluhan kelemahan, keletiahan, dan dispnea berkenaan dengan aktivitas.
R : miokarditis menyebabkan inflamasi dan kemungkinan kerusakan fungsi sel-sel miokardial.
 Pantau frekuensi/irama jantung, TD, dan frekuensi pernapasan sebelum dan setelah aktivitas dan selama diperlukan.
R : membantu menentukan derajat dekompensasi jantung dan pulmonal. Penurunan TD, takikardia, disritmia, dan takipnea adalah indikatif dari kerusakan toleransi jantung terhadap aktivitas.
 Pertahankan tirah baring selama periode demam dan sesuai indikasi.
R : meningkatkan resolusi inflamasi selama fase akut.
 Rencanakan perawatan dengan periode istirahat/tidur tanpa gangguan.
R : memberikan keseimbangan dalam kebutuhan dimana aktivitas bertumpu pada jantung.
 Bantu pasien dalam program latihan progresif bertahap sesegera mungkin untuk turun dari tempat tidur, mencatat respons tanda vital dan toleransi pasien pada peningkatan aktivitas.
R : saat inflamasi/kondisi dasar teratasi, pasien mungkin mampu melakukan aktivitas yang diinginkan, kecuali kerusakan miokard permanen/terjadi komplikasi.
 kolaborasi pemberian oksigen suplemen sesuai indikasi.
R : memaksimalkan ketersediaan oksigen untuk menurunkan beban kerja jantung.

3. Risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung
Tujuan : mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
Kriteria Hasil : - melaporkan/menunjukkan penurunan periode dispnea, angina, dan disritmia.
- memperlihatkan irama dan frekuensi jantung stabil.
Intervensi dan Implementasi :
 Pantau frekuensi/irama jantung, TD, dan frekuensi pernapasan sebelum dan setelah aktivitas dan selama diperlukan.
R : membantu menentukan derajat dekompensasi jantung dan pulmonal. Penurunan TD, takikardia, disritmia, dan takipnea adalah indikatif dari kerusakan toleransi jantung terhadap aktivitas.
 Pertahankan tirah baring dalam posisi semi-Fowler.
R : menurunkan beban kerja jantung, memaksimalkan curah jantung.
 Auskultasi bunyi jantung. Perhatikan jarak/muffled tonus jantung, murmur, gallop S3 dan S4.
R : memberikan deteksi dini dari terjadinya komplikasi misalnya : GJK, tamponade jantung.
 Berikan tindakan kenyamanan misalnya ; perubahan posisi, gosokkan punggung, dan aktivitas hiburan dalam tolerransi jantung.
R : meningkatkan relaksasi dan mengarahkan kembali perhatian.

4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar)
Tujuan : menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.
Kriteria hasil : - mengidentifikasi efek samping obat dan kemungkinan komplikasi yang perlu diperhatikan.
- memperlihatan perubahan perilaku untuk mencegah komplikasi..
Intervensi dan Implementasi :
 Kaji kesiapan dan hambatan dalam belajar termasuk orang terdekat.
R : Perasaan sejahtera yang sudah lama dinikmati mempengaruhi minat pasien/orang terdekat untuk mempelajari penyakit.
 Jelaskan efek inflamasi pada jantung, secara individual pada pasien. Ajarakkn untuk memperhatikan gejala sehubungan dengan komplikasi/berulangnya dan gejala yang dilaporkan dengan segera pada pemberi perawatan, contoh ; demam, peningkatan nyeri dada yang tak biasanya, peningkatan berat badan, peningkatan toleransi terhadap aktivitas.
R : untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan sendiri, pasien perlu memahami penyebab khusus, pengobatan dan efek jangka panjang yang diharapkan dari kondisi inflamasi, sesuai dengan tanda/gejala yang menunjukan kekambuhan/komplikasi.

 Anjurkan pasien/orang terdekat tentang dosis, tujuan dan efek samping obat; kebutuhan diet ; pertimbangan khusus ; aktivitas yang diijinkan/dibatasi.
R : informasi perlu untuk meningkatkan perawatan diri, peningkatan keterlibatan pada program terapeutik, mencegah komplikasi.
 Kaji ulang perlunya antibiotic jangka panjang/terapy antimicrobial.
R : perawatan di rumah sakit lama/pemberian antibiotic IV/antimicrobial perlu sampai kultur darah negative/hasil darah lain menunjukkan tak ada infeksi.

D. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah :
1. Nyeri hilang atau terkontrol
2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
3. Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
4. Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.


DAFTAR PUSTAKA

Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit, Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.
DEPKES. 1993. Proses Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler. EGC : Jakarta.
Doenges, E. Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Ed. 3. EGC : Jakarta.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
FKUI. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1. FKUI : Jakarta.
Griffith. 1994. Buku Pintar Kesehatan. Arcan : Jakarta.
Nasrul Effendi, 1995, Pengantar Proses Keperawatan, EGC, Jakarta.